Payo Naik LRT

Minggu lalu, suatu senja menjelang malam.  Saya berada di dalam perut gerbong suatu rangkaian kereta.  Interior indah,  lantai bersih berkilau, penerangan benderang, dan pendingin yang sejuk.

Sejenak lupa berada di mana.  Sebentar merasa sedang melaju di Singapore, dari stasiun MRT Raffles menuju Orchard.  Kemudian serasa di Jepang, sedang di atas kereta Metro dari stasiun Sinjuku menuju Shibuya.  Kemudian serasa menikmati tram  kota Melbourne, berwisata dari stasiun Swanston St. menuju Melbourne University.

Saya tidak berlebihan.  Sama sekali tidak.  Saya sedang naik kereta yang layak mendapat predikat “luar biasa”.  Di sana-sini bahkan lebih unggul dibanding kereta di kota-kota di atas.   Saya tidak berada di Singapore, Tokyo atau Melbourne.  Saya sedang di Palembang,  Sumatera Selatan,  dan kereta itu dinamakan “LRT Sumsel”.

Sudah lama tak ke Palembang,  kali ini saya terperanjat. Palembang berubah, jauh lebih indah, megah dan meriah.  Palembang bersolek karena menjadi  tuan rumah Asian Games ke 18.  Kecantikan itu bertambah karena Palembang memiliki “Light Rail Transit” (LRT), yang sudah beroperasi sebagai sarana transportasi kota sejak 1 Agustus 2018.

Palembang adalah kota pertama di Indonesia yang ber-LRT, dan pantas bangga karena itu produk anak bangsa seluruhnya.   Prasarana dibangun PT Waskita Karya,  kereta diproduksi PT INKA dan  PT KAI bertugas mengoperasikannya.  Lantas apalagi yang pantas melengkapi catatan prestasi di atas?.   Paling tidak saya menemukan 2 hal.

Pertama,  memiliki LRT harus disertai pengembangan SDM.  People development menjadi sangat penting.  Masyarakat diharapkan menyesuaikan, karena naik LRT harus disertai dengan perubahan perilaku.   LRT tidak hanya sarana transportasi kota yang mampu mengangkut 500 penumpang setiap kali jalan, sebanyak 108 perjalanan/hari, yang beroperasi sejak pukul 04.00 dini hari sampai 22.00 hampir tengah malam, yang menjelajah kota sepanjang 23,4 kilometer, yang melewati 13 stasiun dengan kecepatan maksimum 85 kilometer/jam, dari stasiun Bandara sampai DJKA, yang bertarif 5 ribu dan 10 ribu rupiah, tapi juga membentuk budaya baru bagi masyarakat.  “LRT shapes a new culture”.

LRT membuat masyarakat memiliki budaya antre, bersih, tepat waktu, menjaga fasilitas umum dan menghargai penumpang lain.  Tempat duduk prioritas disediakan bagi mereka yang membutuhkan pelayanan khusus, seperti orang tua, perempuan hamil, anak kecil atau berkebutuhan khusus.  Masyarakat mendapat pencerahan bahwa perilaku “baru” harus dimunculkan sebagai syarat untuk menikmati kenyamanan dan keamanan naik angkutan modern yang cepat dan murah.

Transformasi yang sedang terjadi memerlukan pengelolaan.  Lembaga suprastructure, seperti Pemda, PT Angkasa Pura II dan atau PT KAI  harus secara sengaja dan terencana mengawal  proses ini.  Sistem implementasi harus “in place”, dan ditegakkan secara konsisten dan konsekuen sampai “budaya baru” benar-benar terwujud.

Yang kedua, saya ingin memberi hormat dan  angkat topi bagi mereka yang menjadi kunci sukses pembangunan ini.   Nama-nama yang jarang  muncul di ranah publik, tapi mereka bekerja keras siang-malam, tak kenal lelah, sampai sering mengorbankan waktu istirahat dan perhatian untuk keluarga.

Ini managemen-proyek yang bernilai lebih dari 10.9T rupiah, diselesaikan hanya dalam waktu kurang dari 3 tahun, mengandung teknologi dan faktor keselamatan kerja yang tinggi, mengiris  kota besar yang diselimuti aktivitas dan kepadatan manusia dan melibatkan ratusan atau ribuan pekerja yang dinaungi oleh puluhan kontraktor dan subkontraktor.

Bintang utama pantas disematkan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), yang menjadi salah satu kunci kesuksesan ini.

Namanya Suranto.  Masih muda,  sekitar 45 tahun, berpenampilan sederhana, namun sikap tegas tergambar di raut wajahnya yang terus tersenyum.

Suranto memimpin pengelolaan proyek konstruksi yang rumit dan masif ini, dengan  gembira.   Masih dengan nada merendah, Suranto mengakui kesulitan dalam pelaksanaan proyek ini.   Namun, Suranto menjawabnya dengan pas, kerja keras dan kerja keras.  “Taruhannya  sangat mahal.  Ini tugas negara, karena demi kesuksesan Asian Games”.

Saya speechless.  Tak satu pun komentar yang keluar, selain genggaman tangan erat sambil sedikit mengguncangnya.  Itu tanda bahwa saya menghormati dan mengaguminya.

Ketika dari jendela LRT saya memandang jembatan sungai Musi yang gemerlapan dengan lampu berwarna-warni, tersembul rasa bangga menjadi bagian dari bangsa Indonesia.  Tidak hanya karena jembatan Ampera bisa menjadi cantik jelita, tapi lebih-lebih karena kita adalah bangsa yang bisa bangkit.   Bisa  sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya.  Bisa berbudaya luhur, dan segera berubah dari developing country menjadi developed country.

 

PM Susbandono
Praktisi & Pengamat Manajemen SDM
Twitter: @pmsusbandono