Ini contoh kisah heroik tentang “Pemimpin itu melayani”. Cerita mengenai Khalifah Umar bin Khatab yang dapat dibaca di berbagai media.
Suatu malam, Khalifah Umar bin Khatab mendengar suara tangisan seorang gadis kecil yang tak berkesudahan dari sebuah gubug reot. Umar, bersama Aslam asistennya, bergegas mendekati gubug itu. Mereka melihat seorang perempuan setengah baya menjerangkan panci di atas tungku api.
“Assalamulaikum. Siapakah yang sedang menangis itu?. Mengapa dia terus menangis?”, tanya Umar. “Anakku. Dia kelaparan”. Umar dan Aslam tak bisa berucap lagi. Mereka duduk di depan gubug sambil terus memperhatikan apa yang sedang terjadi. Si gadis kecil terus merengek.
Yang mengherankan, sang ibu terus mengaduk isi panci. Khalifah Umar tak habis pikir, mengapa makanan yang sudah begitu lama dimasak belum juga matang. Karena tak tahan menunggu, akhirnya Umar bertanya : “Apa yang sedang kau masak?”.
Sang ibu menjawab : “Hmmm, lihatlah sendiri”. Umar keget melihat isi panci berisi air dan sejumlah batu kecil. Batu-batu itu bergejolak mengikuti alunan air yang sedang mendidih. Suaranya ritmis berdetak-detak. “Mengapa kamu memasak batu?. Untuk apa?”.
“Saya seorang janda, tak punya uang dan makanan, sementara anakku merengek karena lapar. Tadi pagi saya membujuknya untuk puasa, dengan harapan akan mendapatkan rezeki ketika masa buka tiba. Tetapi, rezeki tak kunjung datang. Makanan juga tak ada. Rebusan batu untuk menghiburnya, agar menyangka ibunya sedang memasak untuk dia. Ternyata sia-sia. Dia selalu terjaga dan menangis terus tak tertahankan”.
Khalifah Umar gemetar. Darahnya menggejolak karena malu dan iba. “Mengapa kamu tak melaporkan hal ini ke pemimpinmu, Khalifah Umar bin Khatab?”.
Dengan nada lirih, perempuan itu menjawab : ”Bila Umar memang benar-benar khalifah kami, bila memang dia pemimpin kami, bila memang dia pelindung kami, dia yang harus datang menemui kami, bukan kami yang harus datang ke istananya”.
Aslam menggertak perempuan itu untuk diam, tapi Khalifah Umar menutup mulut Aslam dan bergegas meninggalkan mereka, menuju istananya.
Diambilnya sekarung gandum dan bahan lauk-pauk, dipikulnya sendiri menuju ke gubug kumuh itu, diserahkan kepada perempuan itu untuk dimasak bagi anaknya. Dalam perjalanan ke istana, Khalifah Umar merenung tentang apa yang sedang terjadi. “Benar, kalau saya pemimpinnya, saya yang harus datang kemari, lebih-lebih karena perempuan itu sedang menderita”.
Kisah di atas adalah sebuah teladan bagaimana seorang pemimpin harus bersikap kepada konstituennya. Pemimpin bukan menguasai, tetapi melayani. Pemimpin harus mendatangi rakyatnya, anak buahnya, komunitasnya. Dalam bahasa kini, pemimpin harus blusukan. Melihat apa yang sebenarnya terjadi. Bukan hanya duduk di singgasana atau ruangan dingin ber AC saja, sambil memerintah ke sana dan ke sini.
Kekuasaan yang diamanahkan harus digenggam dengan spirit “dipersembahkan bagi para pengikutnya”. Pemimpin harus memegangnya dengan hati-hati, prihatin, atau malah “was-was”. Sedikit alpa, kekuasaan berubah menjadi malapetaka. “Power is mandate”. Sebuah tanggung jawab, bahkan beban yang harus dikembalikan kepada si pemberi mandat.
Itulah kekuasaan, karena jabatan bukan hanya titel, tapi pengabdian. Posisi adalah melayani. Tahta adalah menghamba. Pangkat adalah perangkat. Persis seperti yang ditulis oleh Robert K. Greenleaf dalam buku “Servant Leadership” (1977).
Menurut Greenleaf, pemimpin adalah seseorang yang mempunyai tanggung jawab dan kekuasaan, dengan tugas utamanya melayani yang dipimpin.
Roh kekuasaan bukan berpusat pada diri si pemimpin, bukan pada hasrat berkuasa, tapi harus melarut menjadi satu dalam komunitas yang dipimpinnya. Kemudian, tumbuh bersama-sama, dengan semua anggota organisasinya.
Dalam konteks inilah, kekuasaan akan bermakna bagi sesama. Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengungkapkannya dalam buku “Tahta untuk Rakyat” (1982). Tahta harus mengupayakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan bersama. Memberantas sifat angkara murka. “Memayu hayuning bawana. Ambrasta dur hangkara”.
Nasehat senada disampaikan oleh Mr. Kasman Singodimedjo, tokoh pergerakan dan pahlawan nasional. “Memimpin itu menderita. Leiden is lijden”. Menderita, dalam bingkai melayani. Bagi Mr. Kasman, kepemimpinan adalah sebuah tuntutan untuk kepentingan mereka, bahkan kalau perlu, sampai mengorbankan dirinya.
Meski dalam tantangan yang berbeda, semangat yang dibawa oleh Khalifah Umar, Sultan Hamengku Buwono IX dan Mr. Kasman Singodimedjo mempunyai benang merah yang sama. Pemimpin, dalam konteks yang luas, adalah siapa saja yang mendapat amanah untuk melayani. Bukan hanya Khalifah, Raja, Sultan atau Presiden saja.
Mereka baru layak disebut great leader bila telah mengeluarkan seluruh modal kepemimpinannya bagi kepentingan bersama. Jangan lupa, sosok pemimpin itu datang untuk melayani, bukan untuk dilayani, dan itulah “Leadership”.
PM Susbandono